Berlibur ke Bangkok

161

Bangkok berada dalam daftar must-visit-city yang saya buat, karena ia adalah kota di Asia Tenggara yang memiliki sejarah terpanjang dengan backpacker. Kota yang pernah menjadi pusat Kerajaan Siam ini, memiliki pesona yang mampu membuat turis dari mancanegara datang berkunjung.

Pesawat yang saya naiki akhirnya mendarat di landasan Suvarnabhumi Airport yang tampak basah oleh air hujan. Beruntung saya segera membeli tiket bus, karena ini adalah bus terakhir yang melayani rute menuju kawasan Khao San. Tarif bus bernomor AE2 ini sekitar 150 Baht. Di dalam bus, saya berkenalan dengan tiga orang turis asal Surabaya yang sama seperti saya, baru pertama kali mengunjungi Bangkok. Nama lain dari Kota yang dibangun tahun 1782 ini adalah Krung Thep Maha Nakhon, yang berarti Kota Para Malaikat.

Satu setengah jam kemudian, bus memasuki kawasan Khao San. Aroma wisata tercium saat melihat banyak turis mancanegara berlalu-lalang dan memenuhi cafe sambil bercengkrama. Lampu neon berwarna-warni menyemarakkan suasana. Setelah bus berhenti, para penumpang berhamburan menuju penginapan masing-masing.

Suasana Jl. Khao San di malam hari

Kawasan Khao San
Kawasan Khao San sebelumnya merupakan daerah hunian yang tenang, bahkan pernah dikenal sebagai pusat penjualan beras. Saat Thailand Economic Booming terjadi di tahun 1982, pemerintah Thailand merayakan dua abad hari jadi Kota Bangkok dan Buddhist Calendar Lucky Year dalam sebuah perhelatan besar yang dipusatkan di Grand Palace, Bangkok. Pada masa itu, pemerintah Thailand tengah bekerja keras memperbaiki sektor ekonomi, dengan mengkoreksi nilai tukar mata uang, meningkatkan ekspor dan membangun pariwisata.

Deretan restoran di Jalan Soi Rambuttri

Turis berdatangan dari penjuru dunia, hotel dan penginapan menjadi penuh, harga sewa kamar ikut naik. Beberapa turis yang mulai kesulitan mencari penginapan, akhirnya mencari penginapan alternatif dengan mendekati warga Khao San. Kebetulan daerah ini letaknya relatif dekat dengan Grand Palace, sekitar dua kilometer saja.

Perhelatan tersebut sukses menarik devisa dari kantung wisatawan. Tapi bukan hanya keuntungan sesaat saja yang diraih. Usaha penginapan di Khao San mulai merebak, beragam toko yang menyediakan kebutuhan turis mulai bermekaran. Perkembangan ini lalu merambat ke jalan lain di sekitar Jalan Khao San. Kawasan ini hampir selalu ramai, hanya sekitar subuh hingga pagi saja tampak lengang. Taksi dan tuk-tuk (bajaj khas Thailand) selalu hilir mudik di kawasan ini.

Rumah makan murah meriah di Thanon Rambuttri

Thanon (jalan) Rambuttri yang letaknya pararel dengan Jalan Khao San, dipenuhi cafe sekaligus penginapan yang ramai oleh suara live band setiap malam, sehingga bila kita menyusurinya, telinga kita bergantian dipenuhi suara musik country, alternatif atau pop. Jalan Soi Rambuttri yang berhadapan dengan Thanon Rambuttri, terdengar lebih tenang. Di jalan ini terdapat banyak pedagang cenderamata, biro wisata dan minimart. Selain itu terdapat beberapa penginapan dengan tarif lebih murah di gang-gang sempitnya, tentu dengan kondisi yang lebih sederhana.

Baca juga:  Come join the fun at the #BaliArtsFestival that’s on till 10th July, 2022!Part...

Thailand menawarkan biaya yang cukup masuk akal bagi traveler. Biaya akomodasi di negara ini sedikit banyak mirip dengan Jakarta. Saat saya melakukan perjalanan ini, 300 Rupiah setara dengan 1 Baht.

Saya menginap di kamar paling sederhana milik Greenhouse Guesthouse di Thanon Rambuttri dengan tarif 325 Baht/malam. Setelah mengisi perut, saya segera beristirahat untuk perjalanan esok hari. Grand Palace, Wat Pho dan Wat Arun menjadi objek wisata wajib yang berada dalam satu jalur sehingga cocok untuk mengisi hari pertama di Bangkok.

Empat bangunan menjulang di balik tembok istana

Grand Palace
Pagi itu saya sudah berada di jalan menuju Grand Palace bersama turis lain. Beberapa sopir tuk-tuk menawarkan jasa dan saya menolak tawaran mereka, Grand Palace letaknya cukup dekat.

Kompleks yang dibangun tahun 1782 ini, memiliki area seluas 218.000 meter persegi dengan begitu banyak bangunan berarsitektur fantastis. Tembok yang mengelilinginya memiliki panjang 1900 meter dengan tinggi sekitar 5 meter, sepintas mirip Keraton Jogjakarta. Di dalam terdapat istana kenegaraan, kuil-kuil, bangunan pemerintahan dan museum. Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (Rama IX) dan Ratu Sirikit tinggal di Istana Chitralada, di bagian lain Bangkok.

Wat Phra Kaew, tempat Patung Buddha yang terbuat dari Giok

Sebaiknya Anda menjelajah area ini sejak pagi, agar selesai pada tengah hari. Gerbang dibuka mulai pukul 08:30-15:30 dengan tiket masuk 350 Baht per orang. Pengunjung dilarang mengenakan kaos buntung, rok mini, celana pendek apalagi baju transparan. Grand Palace menyediakan tour guide cuma-cuma dengan pemandu berbahasa Inggris, setiap hari pukul 10:00, 10:30, 13:30 dan 14:00. Kaunternya ada di sebelah kiri setelah gerbang pemeriksaan tiket. Bila Anda tertinggal tur gratis ini, masih ada personal guide dengan tarif sekitar 500 Baht.

Bangunan yang pertama kita jumpai setelah melewati pemeriksaan tiket adalah Royal Monastery of Emerald Buddha atau Wat Phra Kaew. Didalamnya terdapat patung Sang Buddha yang dipahat dari batu giok, ditemukan tahun 1434 dalam sebuah stupa di Provinsi Chiang Rai. Dahulu, lapisan gips menutup bagian luarnya sehingga dianggap Patung Buddha biasa, hingga suatu hari lapisan pada bagian hidung lepas dan menampilkan batu giok di dalamnya.

Deretan patung di sepanjang koridor Wat Phra Kaew

Saya melihat umat Buddha tengah beribadah di bagian dalam bangunan. Dinding-dindingnya dihias lukisan mural yang menceritakan kisah Sang Buddha. Petugas melarang pengambilan gambar di dalam bangunan. Sementara bagian eksterior bangunan ini dipenuhi oleh ornamen-ornamen detail berwarna-warni dengan deretan patung yang sangat menarik untuk diabadikan.

Phra Siratana Chedi

Di sebelah bangunan Emerald Buddha terdapat Upper Terrace. Empat monumen megah berdiri diatasnya. Yang pertama adalah Phra Siratana Chedi, yaitu pagoda berwarna emas dengan atap meruncing. Yang kedua adalah Mondop, sebuah bangunan yang dipenuhi detil-detil ornamen. Di dalamnya terdapat naskah Sang Budhha, yang ditulis di atas daun lontar. Yang ketiga adalah miniatur dari Candi Angkor Wat, dan yang keempat yaitu Royal Pantheon yang berisi patung raja-raja masa lalu.

Baca juga:  Pria Ini Traveling Pakai Rok Pink Demi Hibur Istri Kena Kanker

Saya sempat memperhatikan beberapa orang yang tengah melapis patung dengan kertas emas. Saat warna patung mulai terkikis, mereka datang membawa sekian lembar kertas emas, lalu menempel dan mengusap-usap kertas tersebut hingga melekat pada patung. Begitu seterusnya hingga seluruh bagian patung tertutup dengan sempurna. Bagi rakyat Thailand, Buddha sebaiknya berwarna emas. Belakangan, saya mendapati bahwa nama Bandara Suvarnabhumi, berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti daratan emas.

Menjelang siang, saya sudah selesai mengunjungi sebagian besar spot menarik di kompleks ini dan beruntung bisa menyaksikan pergantian pasukan di depan Prasat Hall, istana tempat singgasana raja. Tempat selanjutnya yang saya tuju adalah Wat Pho, Kuil Buddha yang berada tepat di belakang Grand Palace.

Patung Buddha dengan posisi berbaring

Wat Pho
Wat Pho memiliki nama lengkap Wat Phra Chetuphon Vimolmangklararm Rajwaramahaviharn. Wah, namanya panjang juga ya? Keistimewaan kuil ini terletak pada keberadaan sebuah Patung Buddha raksasa berwarna emas dengan posisi merebahkan diri. Panjangnya 46 meter dengan tinggi 15 meter. Bagian mata dan telapak kaki patung ini dihias oleh mutiara.

Selain berfungsi sebagai kuil, sejak dahulu Wat Pho juga berfungsi sebagai tempat mengenyam pendidikan  ilmu medis tradisional Thailand. Hal ini terlihat dari beberapa ilustrasi anatomi dan patung-patung dengan posisi yoga. Anda hanya perlu mengeluarkan 50 baht untuk memasuki tempat ini.

Ilustrasi anatomi di Wat Pho

Sebelumnya, Wat Pho merupakan sebuah kompleks biara yang dibangun tahun 1688, Raja Rama I dan Rama III melakukan restorasi hingga memiliki luas 80 ribu meter persegi. Saat hendak berjalan keluar dari Wat Pho, hujan deras turun, menyurutkan langkah. Akhirnya saya kembali memasuki gedung utama untuk berteduh. Sekitar setengah jam kemudian hujan berhenti, saya segera berjalan menuju spot terakhir.

Wat Arun
Tempat terakhir yang sayangnya tidak jadi saya kunjungi, adalah Wat Arun yang terletak di seberang Sungai Chao Phraya. Dari Wat Pho, Anda tinggal berjalan ke arah barat menyeberangi Thanon Maha Rat menuju dermaga penyeberangan perahu bernama Tha Thien Pier melalui Jalan Tha Thien. Perahu akan mengantarkan Anda ke seberang dengan biaya sekitar 5 Baht. Tiket masuk kuil ini sekitar 50 Baht.

Wat Arun disebut juga sebagai candi fajar karena saat matahari terbit, sinarnya membuat menara tampak berkilatan dari kejauhan. Hal ini disebabkan oleh ornamen kaca yang menghiasi dinding candi. Bentuk arsitektur menaranya (istilahnya prangs) dipengaruhi gaya Khmer (kerajaan tua yang pernah berkuasa di Thailand). Tinggi menaranya sendiri sekitar 80 meter. Candi ini awalnya dibangun oleh Raja Rama II dan diteruskan oleh Raja Rama III. Disinilah abu Raja Rama II disimpan.

Baca juga:  Masjid Agung Baiturrahman: Fenomena Arsitektur Islami

Wat Arun saat sunset

Karena sudah terlalu sore, saya akhirnya hanya mengabadikan sunset “tenggelam” di Wat Arun dari seberang sungai. Oh ya, nama lengkap dari Wat Arun adalah Wat Arunratchawararam Ratchaworamahawihan. Hmm, mengapa, warga Thailand senang memberikan nama yang begitu panjang, ya?

Saat pulang, saya menaiki bus nomor 53 dari bus stop di Thanon Maha Rat. Bus ini mengantarkan saya ke Jalan Phra Atit, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 500 meter melewati Jalan Soi Rambuttri menuju penginapan. Bila Anda memilih tuk-tuk, biayanya sekitar 50 Baht untuk kembali ke kawasan Khao San.

Sambil menyusuri Jalan Rambuttri, saya melihat turis-turis bule yang baru tiba dengan ransel mereka, seolah-olah siap menggantikan traveler yang hendak pulang hari ini. Perbedaan nilai mata uang yang besar, merupakan suatu berkah bagi traveler. Hal ini tampak kontras dengan industri wisata yang tidak pernah berhenti menyedot devisa dari kantung mereka.

==================================================================

Tips & Info:

  1. Bila Anda ingin membekali diri dengan camilan atau air mineral, minimart memberikan harga stabil. Pedagang kaki lima di Bangkok bertingkah layaknya pedagang di Indonesia; memberi harga lebay bagi turis asing.
  2. Sopir tuk-tuk yang mangkal di sekitar Khao San sering menawarkan harga murah untuk berkeliling, tetapi terlebih dahulu mereka akan membawa penumpang menuju beberapa toko untuk melihat cenderamata. Hal ini mereka lakukan karena ada imbalan dari pemilik toko berupa kupon bensin. Saat menawar harga, sampaikan bahwa Anda ingin langsung ke tujuan. Bila perlu, gunakan hp untuk menampilkan harga secara akurat.
  3. Pedagang jagung yang sering nongkrong di trotoar, kadang menawarkan traveler untuk memberi makan sekawanan merpati. Bila Anda melakukannya, mereka kemungkinan akan terus memberi kantung jagung dan di akhir “pertunjukan”, Anda akan diminta membayar dengan harga tinggi.
  4. Di sekitar Khao San, banyak tur travel yang menawarkan paket wisata murah. Namun, beberapa spot wisata ternyata menagih biaya tiket masuk secara terpisah. Lokasi yang menurut saya layak dikunjungi adalah Tiger Temple di Kanchanaburi dan pasar terapung Damnoen Saduak di Ratchaburi. Keduanya berada di luar Kota Bangkok. Perhatikan bahwa sungai yang tidak diorganisir dengan baik, hanya dikunjungi oleh sedikit pedagang sehingga tampak minim sampan. Selain itu, ada pasar terapung yang hanya ramai pada hari tertentu saja.

Anak-anak harimau tengah bercanda di Tiger Temple

Sumber: http://jalanlagijalanlagi.wordpress.com/category/thailand/

Previous article12 Alasan Kenapa Traveling Sendirian Itu Keren!
Next articleSushi Segar Jepang Ternyata Berasal dari Pasar Sebersih Ini