JAKARTA – Pemerintah telah menetapkan target produksi migas nasional sebesar 1 juta barel minyak per hari dan 12 ribu MMscfd gas pada tahun 2030. Target tersebut ditempuh oleh beberapa strategi mulai dari optimalisasi produksi eksisting, mempercepat cadangan menjadi produksi, pemanfaatan Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Enhanced Gas Recovery (EGR) serta menggenjot eksplorasi.
Kegiatan eksplorasi ini menjadi salah satu tumpuan untuk bisa mencapai target produksi tersebut. Pada awal 2022 pemerintah menetapkan lima fokus area untuk dieksplorasi lebih lanjut, dan semuanya berada di wilayah Indonesia timur seperti Buton, Arafura, Seram, Warim, dan Timor yang meliputi 12 cekungan potensial.
Benny Lubiantara, Deputi Eksplorasi Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan Indonesia Timur menjadi salah satu wilayah yang diandalkan untuk bisa berkontribusi besar dalam pemenuhan target produksi. Namun harus diakui untuk bisa mengandalkan potensi di Indonesia Timur ada tantangan seperti berada frontier, laut dalam dan infrastruktur terbatas.
Menurut dia salah satu fokus yang harus diperbaiki adalah dari sisi kebijakan fiskal. “Oke resource (cadangan migas) meyakinkan tapi cadangannya belum tentu bisa diproduksi karena faktor keekonomian. Kita fokus ke fiskal, tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan fiskal selama 30 tahun,” kata Benny dalam sesi diskusi Capture High Potential Untapped Resources and Build A Competitive Oil and Gas Portofolio hari ketiga IPA Convex 2023, Kamis (27/7).
Potensi di lima area yang sudah diterapkan pemerintah sangat membutuhkan kebijakan fiskal atraktif dan skema keeknomian yang tepat pasalnya jumlah potensi cadangannya juga tidak main-main. Berdasarkan data SKK Migas untuk Buton cadangannya 1 BBO dan 4 TCFG. Seram 8 BBOE, Aru 6 BBO dan 50 TCFG, Warim 34 BBOE serta Timor 5 BBOE.
Menurut dia target produksi minyak maupun gas pada 2030 masih sangat bisa tercapai apalagi jika melihat cadangan. Namun ada dua syarat yang harus dipenuhi pertama adalah membuat cadangan yang ada bisa dikembangkan dan sesuai dengan keekonomian. Kedua adalah memastikan proyek-proyek yang telah direncanakan bisa diselesaikan sesuai dengan jadwal.
“Kita ada daftar list cadangannya, tapi semua proyek tidak ekonomis. Untuk itu kita siap untuk meluncurkan insentif. Kemudian berikutnya kita harus memastikan proyek ini tidak delay. Kalau sudah delay itu proyek langsung berubah keekonomiannya,” jelas Benny.
Yuzaini Bin Md Yusof, Presiden Direktur Petronas Indonesia, menuturkan Petronas masih meyakini dengan potensi besar di wilayah Indonesia Timur karena itu Petronas terlihat sangat agresif. Salah satunya yang baru saja ditandatangani bersama dengan Pertamina untuk masuk di proyek Masela.
Menurut Yuzaini berdasarkan data IHS 2023 menunjukkan jumlah pemboran eksplorasi di Indonesia Timur jauh lebih sedikit dibandingkan di Indonesia Barat. Akan tetapi secara volume, temuan cadangan di Indonesia timur volumenya lebih besar.
“Sumurnya sedikit di timur tapi temuan volumenya lebih besar. Dominan memang gas. Asap Kido Merah contohnya, sementara beberapa temuan-temuan kecil ada di indonesia bagian barat,” ungkap dia.
Namun demikian untuk kembangkan Indonesia timur perlu banyak inisiatif, salah satunya dari sisi penyediaan infrastruktur.
“Akses market juga penting, infrastruktur di timur berbeda dengan di Indonesia bagian barat. Kalau di barat sudah ada bahkan tersambung ke Singapura, ada juga ke Pulau Jawa. Sementara di timur sedikit infrastruktur, hanya dihubungkan oleh LNG. Sementara market juga belum ada, belum banyak industri di sana (Indonesia timur),” jelas Yuzaini.
Selain itu ketersediaan data dan penggunaan teknologi juga menjadi kunci keberhasilan eksplorasi terutama di bagian Timur. Seperti yang dilakukan Petronas di sumur Hidayah, Yuzaini menjelaskan teknologi menjadi kunci penting dalam perburuan cadangan migas di Indonesia bagian Timur.
“Paling penting lihat data dan teknologi, Hidayah discovery, sebelum drill dieksekusi, kita lakukan eksplorasi dan selesaikan seismik dengan teknologi terbaru. Teknologi ini terus berkembang, itu kuncinya. Kami percaya diri dengan potensi di Indonesia bagian timur, itulah kenapa kami di sana,” jelas Yuzaini.
Sementara itu, Pri Agung Rakhmanto, Praktisi migas dan juga pendiri Reforminer Institute, menyatakan apa yang dilakukan pemerintah demi memonetisasi cadangan migas yang ada sudah cukup positif. Tapi itu saja tidak cukup karena kondisi cadangan yang ada di wilayah-wilayah sulit membutuhkan usaha lebih ekstra. “Kami pelaku usaha migas butuh praktik di lapangan lebih mudah, butuh fleksibilitas, secara umum kita semua tahu masalahnya,” kata Pri Agung.
Dia menuturkan pelaku usaha migas melihat Indonesia masih prospektif dari sisi cadangan, tapi di sisi lain para pelaku usaha juga melihat negara lain sebagai perbandingan.
“Kita butuh lebih banyak berusaha, mulai mentranslate pandangan migas dari migas sebagai mengeruk revenue ke migas sebagai penggerak ekonomi ke dalam aksi nyata. Kita perlu mengubah cara Indonesia melihat migas ke dalam uu migas. Jadi misalnya kalau memang gagal dapatkan cadangan jangan dianggap sebagai kerugian negara,” jelas Pri Agung. (*)