Solo, the Spirit of Java

190

Keberadaannya mungkin tidak setenar Yogyakarta sebagai kota wisata dan budaya. Namun, kota berpenduduk lebih dari 500 ribu jiwa ini memiliki keistimewaan tersendiri. Sebuah kota di mana jejak kejayaan Kerajaan Mataram Islam berpadu apik dengan kebudayaan Jawa dan kehangatan masyarakatnya.

Sala. Begitulah Solo dikenal di masa lalu. Sejarah kota ini bermula ketika Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya di bawah kekuasaan Sultan Agung Hanyakrokusumo. Dia bahkan mampu memperluas daerah kekuasaan Mataram Islam dari Madura hingga ke Jawa Timur. Pada 1628, Sultan Agung begitu berambisi merebut Batavia (sekarang Jakarta) dari tangan Belanda. Namun sayangnya, ambisi itu barujung pada kekalahan.

Pada 1646, Sultan Agung mangkat dan digantikan oleh putranya Amangkurat I. Sayangnya,sifatnya yang kurang bijaksana membuat Amangkurat I dibenci oleh koloninya sendiri. Akibatnya, pada 1674 Raden Trunajaya yang merupakan bangsawan Madura memberontak pada Amangkurat I. Pemberontakan itu berlangsung hingga 1680, ketika Kerajaan Mataram Islam dipimpin oleh Amangkurat II.

Untuk meredam perang dengan Trunajaya, Amangkurat II memutuskan untuk memindahkan ibu kota pemerintahan Kerajaan Mataram Islam dari Bantul (Yogyakarta) ke Kartasura (Sukoharjo). Pada 1742, Kerajaan Mataram Islam dipimpin oleh Pakubuwana II, di mana gelombang pemberontakan tidak hanya datang dari Madura, namun juga etnis Tionghoa yang kemudian dikenal dengan nama pemberontakan Geger Pecinan.

Keraton Surakarta Hadiningrat.

Kondisi kerajaan yang tidak aman, membuat Pakubuwana II membangun istana baru yang berlokasi di Desa Sala pada 1744. Detail arsitektur dan pembangunan istana diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi. Istana seluas 500×700 meter yang dikelilingi oleh baluarti atau tembok pertahanan setinggi 3-5 meter itu, mengusung arsitektur Jawa dan Eropa. Pada 17 Februari 1745, Mangkubumi merampungkan pembangunan istana yang kemudian diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat. Dia sekaligus mengubah nama Desa Sala menjadi Surakarta, dan menjadikannya ibu kota Keraton Surakarta.

Dan kini, setelah 268 tahun pendiriannya, Keraton Surakarta Hadiningrat masih belum kehilangan pesonanya. Keraton ini terbagi atas  11 bagian: Alun-alun Lor, Sasana Sumewa, Sitihinggil Lor, Kamandungan Lor, Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Srimanganti Kidul, Kemandungan Kidul, Sitihinggil Kidul, dan Alun-alun Kidul.

Singgah di Keraton Surakarta Hadiningrat saya pun menyambangi museum keraton yang terdiri atas 9 ruangan utama. kesembilan ruangan ini menyimpan berbagai peninggalan kerajaan, mulai dari kereta kencana, topeng, kendi, keramik kuno, koleksi wayang, dan peralatan masak kuno kerajaan yang masih terawat baik.

Terhubung dengan museum, terdapat sebuah pintu raksasa berbahan jati menuju kompleks Sasana Sewaka. Melewatinya, saya melihat sebuah menara berlantai 5 setinggi 35 meter, bernama Panggung Sangga Buwana. Konon, di menara yang didominasi warna putih inilah, dahulu para raja-raja Surakarta bermeditasi.

Di sebuah pendopo yang teduh, saya melihat sejumlah abdi dalem wanita berusia paruh baya duduk bersimpuh dan berbincang dengan suara setengah berbisik. Seakan enggan terganggu dengan kehadiran saya, mereka tetap berbincang sambil menikmati secangkir teh. Setidaknya, itulah cara mereka menikmati hidup dalam dinding keraton yang menjulang tinggi.

Museum Surakarta Hadiningrat

Jam Operasional

Senin-Kamis               Pukul 09.00-14.00

Sabtu-Minggu           Pukul 09.00-15.00

(khusus Jumat museum tutup)

Harga Tiket

Wisatawan domestik                                                  Rp10.000

Wisatawan domestik (rombongan)                          Rp8.000

Wisatawan asing                                                        Rp15.000

Ijin foto (kamera)                                                       Rp3.500

Dari Keraton Surakarta Hadiningrat, saya menuju Museum Batik Kuno Danar Hadi. Kompleks museum yang terletak persis di depan jalan Slamet Riyadi tersebut, dahulu merupakan rumah Raden Wuryaningrat yang merupakan cucu dari Pakubuwana IX.

Dibangun pada akhir abad ke-19, rumah bernama Ndalem Wuryaningratan itu memadukan aristektur Jawa dan Belanda. Sempat menjadi rumah kosong dan tak terawat, seorang pengusaha batik lokal bernama Santosa Doellah kemudian membeli rumah tersebut pada 1999.

Pada 2002, Santosa menyulap rumah itu menjadi sebuah museum yang terdiri atas 3 bagian utama. Di bagian depan terdapat butik penjualan batik Danar Hadi yang disebut dengan House of Danar Hadi. Di bagian tengah kompleks  adalah Café Soga, dan bagian utama dari  kompleks ini adalah Ndalem Wuryaningratan.

Di Museum Batik Kuno Danar Hadi tersimpan rapi sekitar 10 ribu lembar kain batik dari jaman penjajahan Belanda, hingga batik-batik yang berkembang di masa kemerdekaan. Seperti koleksi batik londo peninggalan tahun 1890 yang tertata rapi di ruang pertama. Batik-batik tersebut didesain langsung oleh orang Belanda (seperti Franquemont dan Jonas) dan dikerjakan oleh pengrajin batik lokal.

Pada dasarnya, motif menjadi pembeda antara batik Belanda dengan batik tradisional Jawa. Karena sebagian besar motif batik Belanda didominasi warna-warna cerah dengan motif dongeng (seperti snow white atau Hansel and Gretel), manusia, bunga, dan kupu-kupu.

Selain itu juga dipajang batik-batik keraton yang dahulu dikenakan oleh para raja beserta keluarganya. Disinilah saya mengetahui bahwa desain batik setiap daerah sangat berbeda satu sama lain dan memiliki filosofi tersendiri.

Museum Danar Hadi.

Museum Batik Kuno Danar Hadi

Jalan Slamet Riyadi 261, Solo

Ph: 0271-722042

Waktu Operasional: setiap hari pukul 09.00-16.00

Harga tiket:

Rp25.000 (umum), Rp15.000 (pelajar)

Travelers Note

Tidak diperkenankan mengambil gambar di dalam museum. Anda hanya boleh mengambil gambar ketika tour rampung dan Anda dibawa menuju ke workshop pembuatan batik.

Kusuma Sahid Prince Hotel.

Menutup liburan di Solo, saya memilih untuk menginap di Kusuma Sahid Prince Hotel (KSP). Dahulu, bangunan hotel ini merupakan kediaman pribadi salah satu putra Pakubuwana X, yaitu Pangeran Haryo Kusumoyudho. Dibangun pada 1909, Ndalem Kusumoyudan mengusung perpaduan arsitektur Jawa dan Belanda. Dapat dimaklumi, mengingat sejak 1800-an Kasunan Surakarta memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Belanda.

Pada 1970, Ndalem Kusumoyudan dibeli oleh pengusaha lokal bernama Sukamdani. Empat tahun kemudian, dia menyulap rumah tersebut menjadi hotel dengan mempertahankan setiap elemen dari Ndalem Kusumoyudan.

Liburan kali ini, saya mencoba kamar tipe Prince Suite yang memiliki sentuhan mewah sekaligus klasik dengan dominasi warna merah, gading dan emas. Kamar ini juga dicekoki dengan ruang tamu, ruang makan serta teras yang menghadap langsung ke jalan raya.

Kusuma Sahid Prince Hotel

Jalan Sugiyopranoto 20 Solo, Jawa Tengah

Ph: 0271-646356

Traveler Note

Berkesempatan menginap di Kusuma Sahid Prince Hotel, jangan lewatkan pertunjukan gamelan setiap hari mulai pukul 17.00-20.00.

How to Get There

Tidak sulit untuk menuju Solo. Kota yang sangat ramah pada setiap wisatawan ini dapat dicapai dengan:

1. Pesawat Terbang

Perjalanan selama 1 jam 15 menit akan ditempuh dari Soekarno Hatta International Airport, Cingkareng menuju Adi Sumarmo International Airport, Solo. Beberapa maskapai turut meramaikan penerbangan ke kota ini, seperti Garuda Indonesia, Lion Air, and Sriwijaya Air.

2. Kereta Api

Dibutuhkan waktu sekitar 12 jam perjalanan menggunakan kereta api dari Jakarta menuju Stasiun Solo Balapan di Solo. Sejumlah armada seperti Argo Dwipangga, Bima, Gajayana, dan Argo Lawu siap menghantarkan Anda ke Solo. Untuk jadwal dan harga kereta api, silahkan kunjungiwww.kereta-api.co.id.

3. Bus

Alternatif lain adalah menggunakan bus, dengan lama perjalanan sekitar 10 jam.

Sumber: http://news.kitook.co.id/

Previous articleSopir Taksi di Semarang Dilatih Jadi Pemandu Wisata
Next articleKeindahan Tiga Tingkat Air Terjun Di Curug Dengdeng