Pengamat penerbangan Chappy Hakim menilai, masih banyak pekerjaan rumah yang dipunyai Indonesia jelang penerapan ASEAN Open Sky pada 2015.
Pekerjaan tersebut, menurutnya, ada di berbagai sisi baik dari operator penerbangan, infrastruktur, maupun manajemen sumber daya manusia. “Jelang Open Sky, kita memiliki banyak PR untuk dikerjakan,” katanya seperti dilansirBisnis.com.
Cheppy menilai, dunia penerbangan Indonesia memiliki tiga akar masalah yang harus segera diatasi. Yang pertama adalah penataan maskapai penerbangan.
Cheppy memaparkan, Garuda Indonesia adalah maskapai duta bangsa sebagai pengangkut baik di domestik maupun luar negeri dengan kapasitas penumpang yang besar, pada era 1960-an. Adapun, maskapai milik BUMN lainnya, Merpati, adalah maskapai penghubung antarkota dengan tujuan sebagai transportasi udara perintis.
Sayangnya, kini kondisinya tidak lagi beraturan. Baik Garuda maupun Merpati tidak lagi berbeda, sehingga kondisi penerbangan dalam negeri berantakan. “Tapi sekarang, Merpati beli pesawat besar, sedangkan Garuda beli pesawat kecil untuk perintis. Ada juga maskapai lainnya. Ini jadi amburadul,” ucapnya.
Ditambahkan, faktor kedua yang perlu diperhatikan adalah kesiapan infrastruktur penerbangan yang mampu mengatasi pertumbuhan angkutan udara yang sangat tinggi. Contoh nyata saat ini adalah Bandara Soekarno-Hatta yang dianggap sudah kelebihan kapasitas.
Ketiga, lanjutnya, terkait persiapan SDM yang mumpuni dalam bidang penerbangan tanah air. Dia mengungkapkan, Indonesia memiliki banyak SDM andal, sayangnya menejemen SDM tidak cukup baik. “Jadi kalau kita mau bicara keselamatan penerbangan dan open sky, maka harus menyelesaikan dulu pekerjaan rumah,” tandasnya.