Ketika pengusaha Malaysia Tony Fernandes membeli AirAsia pada 2001, tujuannya adalah membangun maskapai tarif rendah yang sanggup memanfaatkan pertumbuhan jumlah pelancong di kawasan.
Demi mewujudkan hasratnya, Tony memungkinkan sistem waralaba untuk maskapainya. Setelah sekitar satu dasawarsa, model bisnis tersebut menjadikan kelompok AirAsia berkembang.
Namun, seiring krisis yang barusan melanda—kecelakaan pesawat AirAsia Indonesia dengan nomor penerbangan QZ8501—model waralaba serta perkembangannya mengalami masalah.
Pertumbuhan AirAsia melambat seiring meningkatnya persaingan. AirAsia Thailand tak lagi menangguk untung, dan AirAsia Indonesia serta Filipina mengalami restrukturisasi.
Pada 2014, kelompok AirAsia mengangkut 50 juta penumpang atau 9,3 persen lebih banyak dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini tercatat yang paling lamban sejak Fernandes mengambil alih operasional tahun 2002. Para analis menaksir penerimaan AirAsia akan tersendat oleh peristiwa kecelakaan Desember lalu yang menewaskan 162 awak dan penumpang.
Sementara itu, ekspansinya ke pasar lain seperti Jepang dan Vietnam terhalang oleh masalah kultural dan aturan.
“[Sulit] membawa model bisnis AirAsia ke pasar Jepang,” ujar Shinzo Shimizu, wakil presiden senior ANA Holdings.
Tahun lalu, AirAsia menyatakan tengah mendirikan usaha patungan kedua dengan mitra lain di Jepang. Di negara lain seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand, AirAsia mempunyai kendali besar atas usaha patungannya, meski tidak memiliki saham mayoritas.
Menurut para analis, salah satu pencapaian terbaik AirAsia adalah membujuk regulator di negara tempatnya beroperasi untuk mengizinkan pemakaian nama AirAsia, walau hanya berstatus pemegang saham minoritas.
Namun demikian, model waralaba terjerat ongkos operasional lebih besar. “Ongkos [waralaba] lebih besar dari [ongkos] perusahaan induk,” ujar Brian Thomas Hoga, direktur pelaksana XSQ Aviation Consultancy. Ia sempat menjadi kepala penasihat eksekutif Zest Air sebelum maskapai Filipina itu berafiliasi dengan AirAsia.
Pengeluaran per kursi per kilometer, tolok ukur yang sering dipakai di industri penerbangan, tercatat USD3,99 untuk AirAsia pusat di Malaysia pada kuartal yang berakhir September lalu. Untuk periode yang sama, angkanya untuk waralaba di Indonesia adalah USD5,14 dan untuk Thailand USD5,24.
Bagi maskapai penerbangan ANA di Jepang, salah satu sumber gesekan adalah AirAsia sangat mengandalkan pemesanan tiket lewat Internet, yang menyumbang penjualan sebesar 85 persen. Padahal, di Jepang, orang lebih suka memesan lewat agen perjalanan.
AriAsia pun tidak berniat mengubah sistem yang mengharuskan penumpang untuk check-in setidaknya 45 menit sebelum keberangkatan.
Di Vietnam, AirAsia membatalkan rencana kemitraan dengan perusahaan setempat pada 2011 karena tidak dapat menggunakan brand AirAsia dalam operasinya.