PADA tanggal ini, 21 Maret 49 tahun yang silam, kedirgantaraan Indonesia kehilangan sosok pionir. Di tanggal itulah Laksamana Muda Udara (anumerta) Nurtanio Pringgoadisurya meninggal dalam usia yang cukup muda, 42 tahun, ketika mengalami kecelakaan pesawat.
Nurtanio meninggal ketika memiloti pesawat Arev (Api Revolusi) dari rongsokan Aero 45 buatan Cekoslovakia (sekarang Republik Ceko dan Slovakia). Mesin pesawat yang dikemudikan Nurtanio mengalami kerusakan dan menabrak sebuah toko saat harus mendarat darurat di lapangan Tegallega, Bandung.
Dirgantara Indonesia pun berduka. Tapi bukan tragedi itu yang patut dikenang dan dijadikan teladan buat para tokoh Indonesia saat ini, melainkan watak dan karakternya yang mengedepankan prestasi ketimbang sensasi.
Sosok kelahiran Kandangan, Kalimantan Selatan, 3 Desember 1923 itu namanya mulai dikenal bersama Wiweko Soepono, sebagai perintis industri penerbangan Indonesia.
Sebelum masuk TKR ( Tentara Keamanan Rakyat) Jawatan Udara (sekarang TNI AU) di bawah pimpinan Soerjadi Soerjadarma, Nurtanio sudah menggeluti dunia kedirgantaraan dengan mengikuti perkumpulan Junior Aero Club.
Adapun saat bergabung dengan TKR Udara (kemudian AURI – Angkatan Udara Republik Indonesia), Nurtanio bersama Prof. Ir. Rooseno dan Wiweko Soepono, dia diberi jabatan Kepala Bagian Rencana dan Penerangan.
Nurtanio juga ikut merintis sejumlah alutsista macam Pesawat Glider NWG-1 (Nurtanio-Wiweko Glider), Glider “Sikumbang”, serta Pesawat PZL-104 Wilga dari Polandia yang kemudian dinamai “Gelatik” oleh Presiden RI pertama, Soekarno.
Dengan dana pinjaman USD1,5 juta dari pemerintah Polandia, Nurtanio dkk mendirikan LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan), cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia), pada 23 Agustus 1976.
Terlepas dari semua kontribusi dan prestasinya untuk Kedirgantaraan Indonesia, watak dan karakter Nurtanio tak pernah dikenal sebagai figur yang banyak bicara dan membuat sensasi.
Namun pendekatannya pada semua persoalan selalu rasional dan realistis. Itu pula yang terbilang menyebabkan Nurtanio kurang dihargai orang-orang yang terbawa arus megalomania dan akhirnya, nama Nurtanio justru kurang dikenal begitu luas seperti sejumlah tokoh lainnya macam (mantan Presiden) Bacharuddin Jusuf Habibie.
“Merenungkan kembali jalan hidup Nurtanio yang saya kenal mulai dari seorang aero-modeller hingga menjadi pejabat resmi yang memimpin Lapip, maka Nurtanio adalah tetap Nurtanio. Pekerja keras, tidak banyak omong, rendah hati, sopan santun, serta bekerja dengan serba apa adanya dengan biaya rendah (low cost),” beber Marsdya (purn) Salatun pada sebuah majalah.
“Gaya pendekatan yang serba rasional, tidak muluk-muluk dan ‘down to earth’. Tetapi gaya Nurtanio yang realistis juga, yang menyebabkan dirinya kurang dihargai karena dianggap tidak bisa mengikuti arus megalomania,” tambahnya.
Pasca-kecelakaan dan meninggal, nama Nurtanio sedianya pernah diabadikan LAPIP menjadi Lipnur (Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio). Tapi nama sang perintis kedirgantaraan Indonesia itu lenyap ketika Habibie mengganti nama Lipnur menjadi IPTN dan diresmikan Presiden RI kedua, Soeharto pada 11 Oktober 1985.